Selasa, 10 Maret 2009

RINGKASAN ALIRAN ADVENTIS

ALIRAN ADVENT

Di antara gereja-gereja atau aliran-aliran yang ada di lingkungan Kristen Protestan, gereja dan aliran Advent ini termasuk yang paling luas penyebarannya. Di seluruh dunia tersebar kira-kira di 200 negara. Di Indonesia ia sudah hadir sejak 1900 melalui kehadiran Ralph Waldo Munson di Padang sejak 1 Januari 1900. Oleh karena pekerjaannya kurang berhasil di Padang, ia pindah ke Medan didampingi dengan misionaris lain dari Australia dan kemudian ke Jawa, untuk selanjutnya kembali ke Amerika. Kemudian sejumlah misionaris lainnya menyusul datang dari Australia, Belanda dan Amerika. Sejak 1920-an sudah semakin banyak tenaga pribumi yang menyebarluaskan gereja ini. Kini Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK); terjemahan dari Seventh-Day Adventis (SDA), merupakan gereja terbesar dalam rumpun Adventis sedunia.
Dewasa ini kita terkesan oleh kehadiran gereja ini di negeri kita melalui berbagai kegiatan mereka yang menonjol, antara lain peribadahan pada hari Sabtu (Sabat; hari ketujuh) yang berbeda dengan gereja-gereja lain pada umumnya. Lalu publikasi bermacam-ragam buku dan majalah, termasuk di bidang kesehatan yang disebar dari rumah ke rumah. Publikasi ini ditunjang oleh lembaga penerbit dan percetakan Indonesia Publishing House di Bandung. Kemudian lembaga pendidikan dari TK hingga Perguruan Tinggi (a.l. Universitas Advent di Bandung dan Universitas Klabat di Minahasa, yang menyatu dengan seminarinya) dan sejumlah kursus-kursus. Tidak ketinggalan Rumah Sakit di Bandung dan juga kuartet SUARA NUBUATAN yang dapat dinikmati sekitar sekali sebulan melalui Mimbar Agama Kristen di TVRI.
Gereja atau aliran Advent ini lahir di AS. Sebagai organisasi gereja, SDA secara resmi terbentuk tahun 1863. Tetapi akar dan asal mulanya sudah terlihat sejak awal abad ke-19 melalui sejumlah gerakan dan paham yang berkaitan dengan milenium (kerajaan 1000 tahun), eskatologi, parousia (kedatangan Yesus kedua kali) dan apokaliptik (mengenai penglihatan khusus yang bersifat supra-alamiah), yang bermuara pada sejumlah tokoh perintis gereja ini, antara lain William Miller, Hiram Edson, Joseph Bates dan yang terpenting Ny. Ellen Gould Harmon-White.

Latar Belakang dan Konteks Kemunculannya
Memasuki abad ke-19, kekristenan Amerika terutama bercorak Protestan. Tetapi pada abad ke-18 sudah mengalai Kebangunan Besar gelombang pertama dengan tokoh-tokohnya, antara lain George Whitefield dan Jonathan Edwards. Berarti dampak kebangunan rohani itu sudah terjelma dalam bentuk persekutuan-persekutuan yang independent dan tidak formal. Kenyataan ini berkaitan erat dengan pengesahan Konstitusi (Undang-undang Dasar) AS tahun 1789, di mana antara lain dinyatakan bahwa gereja terpisah dari negara dan negara tidak berwenang mencampuri urusan negara, baik dalam soal pembentukan wadahnya maupun menyangkut kebebasannya. Sejak saat itu terdapat kemajemukan dan kebebaan beragama, di mana semakin nyata akibat pengaruh rasionalisme dan deisme dari Eropa.
Abad ke-19 juga merupakan masa ekspansi geografis dari bangsa Amerika yang baru terbentuk itu, bersamaan dengan ekspansi gereja-gereja mereka. Hingga akhirnya bangsa ini menguasai seluruh [bagian] benua dari pantai Atlantik hingga Pasifik. Dalam hal ini mereka berhasil dan keberhasilan ini melahirkan optimisme besar, yang biasanya diberi cap keagamaan.. Mereka memahami diri sebagai ‘ bangsa pilihan Allah’ atau ‘Israel baru,’ dan memandang benua Amerika sebagai ‘tanah perjanjian’ ataupun ‘Yerusalem Baru’. Kebangkitan semangat nasionalisme ini dimateraikan dengan semboyan-semboyan religius. Harapan milenaris yang dibawa dari Eropa oleh sebagian sudah dianggap terwujud. Kerajaan 1000 tahun (kadang disebut Kerajaan Allah) sudah berlangsung di Amerika dan Yesus datang kedua kalinya pada akhir masa 1000 tahun itu. Ini disebut post-milenialisme (sering dikhotbahkan para tokoh Kebangunan Besar abad ke-18, terutama J. Edward).
Optimisme dan rasa kejayaan sebagai bangsa yang bergabung dengan wawasan post-milenialisme ini didukung pula oleh beberapa paham serta kekuatan teologis dan filosofis lainnya. Universalisme dan individualisme (unitarianisme) yang juga berkembang pada masa itu mendukung kultur demokrasi yang sedang tumbuh dan memberi tekanan kuat pada kemuliaan dan nilai tinggi manusia. Ini diperkuat oleh Arminianisme yang dianut oleh gereja Metodis yang sedang tumbuh pesat pada saat itu, yang menandaskan bahwa kasih dan pengampunan Allah berlaku bagi semua orang berdosa. Karena rencana keselamatan yang dari Allah itu mencakup semua orang, maka mestinya setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk memperolehnya dan perolehan keselamatan itu lebih banyak bergantung pada prakarsa manusia ketimbang prakarsa dan kedaulatan Allah. Dalam arti lain, watak antroposentris (manusia sebagai pusat kenyataan dan pemrakarsa keselamatan dirinya maupun penguasa alam semesta) menjadi sangat menonjol. Orang Kristen cenderung untuk lebih banyak bergiat atau mengerjakan sesuatu dan kurang waktu maupun minat untuk berefleksi (berpikir, merenung, dan mengungkapkan hasilnya). Semangat nasionalisme baru, kesadaran akan milenium yang sudah berlangsung, semangat aktivisme yang didasarkan pada penekanan yang kuat atas prakarsa manusia, serta realisasi Allah dan pengampunan Allah bagi semua orang, menghasilkan dampak yang jelas bagi gereja. Kalau masyarakat Amerika mau dimenangkan bagi kekristenan, maka gereja harus menyusun program penginjilan yang tangguh. Maka dibentuklah berbagai lembaga penginjilan dalam negeri dengan 3 sasaran. Dan lebih lanjut mulai dibentuk pula lembaga penginjilan ke luar negeri, sebab bangsa Amerika sebagai ‘bangsa pilihan Allah’ terpanggil membawa terang dan keselamatan kepada bangsa lain. Salah satunya adalah ABCFM, dibentuk 1810, yang sempat mengutus beberapa misionarisnya ke Indonesia (antara lain Samuel Munson dan Henry Lyman yang dibunuh orang batak di Lobu Pining, Tarutung, Sumut). Bagi gereja-gereja, sama seperti bagi bangsa dan negara AS pada umumya, dasawarsa terakhir abad ke-18 hingga akhir sekitar 1830 merupakan ‘masa perasaan enak’ (era of good-feeling). Berdasarkan berbagai wawasan dan iklim kehidupan yang digambarkan di atas, gereja bahu-membahu bersama sebagaian besar bangsa itu mengerjakan dan menghasilkan berbagai kebajikan: mendirikan sekolah sekaligus membangun sistem pendidikan, termasuk bagi penderita berbagai jenis cacat, mendukung berbagai macam gerakan kemanusiaan (termasuk gerakan anti perbudakan), membentuk Lmebaga Alkitab Amerika, Persekutuan Sekolah Minggu Amerika dan sebagainya. Dengan itu tak heran bila pada masa ini tumbuh juga sejumlah gerakan dan persekutuan utopian, yang mengabdikan diri pada cita-cita menegakkan suatu tata-tertib kehidupan ideal yang berpedoman pada ajaran agama. Hampir semua gerakan seperti ini menganut pemahaman atas Alkitaab secara harafiah dan sangat menekankan kesalehan.
Pada dasawarsa 1830-an ‘masa perasaan enak’ berangsur-angsur berganti dengan ‘masa pertikaian’ (era of controvery), yang merupakan ancaman bagi pandangan post-milenialisme yang sedang popular maupun sukses dari gerakan kebajikan. Masa pertikaian itu mula-mula ditandai oleh ‘seksionalisme’: jati diri republik yang belum lama terbentuk itu mulai dipersoalkan di antara sejumlah negara bagian yang ingin punya hak dan kedaulatan sendiri. Penanda kedua adalah mendinginnya impian tentang milenium yang gemilang akibat depresi ekonomi dan keuangan pada tahun 1837, yang sangat memerosotkan berbagai karya kebajikan. Lebih lanjut, semangat kebangunan rohani (revivalisme) , yang mulai pada abad ke-18 dan terus berlanjut hingga awal abad ke-19, telah meningkatkan individualime pada bangsa itu. Sebab berdasarkan pemahaman yang ditanam revivalisme ini, banyak bergantung kepada keputusan pribadi dari setiap individu. Karena ikap nonkonformis dianggap wajar, bahkan terpuji. Ini menciptakan iklim yang cocok bagi lahirnya gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan yang ekstrem dan perfeksionistis, bahkan anti-nomian (menolak adanya hukum) di dalam dan di sekitar gereja dan wadah-wadah keagamaan. Banyak dari antara gerakan revival yang bercorak ekstrem itu yang sangat getol menyatakan bahwa karya dan tindakan mereka langsung di bawah tuntunan Roh Kudus dan milenium belum-namun segera- datang. Keadaan ini membuat masyarakat dan gereja mengalami banyak pertikaian, bahkan perpecahan. Di kawasan-kawasan yang diduduki gerakan-gerekan seperti ini- umumnya daerah pinggiran dan pedalaman dari kawasan timur laut AS- di sinilah lahir gerakan dan aliran Adventisme, Mormonisme dan Spiritualisme.
Pada awal abad ke-19 di kalangan kaum ‘Injili’ (yakni yang bersemangat kebangunan rohani) terdapat penekanan yang kuat atas penelaah bagian-bagian Alkitab yang berbicara mengenai Advent Kedua (=parousia), yakni kedatangan Yesus kedua kali, dan eskaton (akhir zaman). Banyak dari antara mereka ambil bagian dalam penelaah ini menjadi yakin bahwa kedatangan kembali Kristus dan Hati Penghakiman akan segera tiba dan milenium pun akan mulai. Dengan demikian paham pramilenialisme bangkit kembali sebagai tanda penolakan terhadap post-milenialisme. Perhatian kepada hal-hal ini bermula di Eropa, berkat rangsangan revolusi Perancis, lalu menular ke Amerika, menguatkan pemahaman sejenis yang mulai bangkit kembali pada sekitar dasawarsa 1830-an. Salah satu tokoh di Amerika yang menganut paham pra-milenialisme ini adalah William Miller. Dengan adanya pertikaian dan kekuatiran di sepanjang dasawarsa 1830-an, maka lahirlah gerakan-gerakan baru, terutama dari gereja-gereja Protestan. Salah satu diantaranya adalah gerakan atau aliran Adventis.

Awal Sejarahnya
Sejarah aliran ini akan ditelusuri dengan memusatkan perhatian kepada beberapa tokoh utamanya.

William Miller
William Miller (1782-1849) lahir di Pittsfield, Massachusetts, segera setelah perang kemerdekaan, di mana ayahnya menjadi kapten. Sebagai yang tertua di antara 16 bersaudara, ia dibesarkan di lingkungan yang saat religius di Low Hampton, di timur laut negara bagian New York. Pada masa mudanya ia memuaskan kehausannya akan pengetahuan dengan belajar sendiri. Ternyata ia berbakat besar dan lumayan cerdas, sehingga berhasil membaca banyak buku (termasuk Akitab dan matematika) dan mengembangkan metode belajarnya sendiri.
Sesudah menikah, ia menetap beberapa tahun di Poultney, Vermont, dan di sini ia sempat bekerja sebagai pembantu sherif. Melalui pergaulannya dengan sejumlah warga masyarakat setempat yang menganut deisme, Miller meninggalkan keyakinan agamanya dan menjadi seorang deis. Pada perang antara AS dan Inggris (1812-1814) ia menjadi tentara hingga pangkat kapten. Pada saat itu ia menjadi kecewa akan deisme yang dianutnya, karena lewat pengalaman berperang itu ia semakin menyadari kodrat manusia sebagai pedosa. Namun di sisi lain, berkat kemenangan pasukan AS atas pasukan Inggris yang jumlahnya jauh lebih besar, Miller merasa yakin bahwa Allah mengawal pasukan AS sama seperti Ia menjagai pasukan Israel ketika hendak merebut tanah Kanaan. Setelah meninggalkan dinas ketentaraan dan menjadi petani, ia menyediakan lebih banyak waktu untuk menggumuli sejumlah pertanyaan eksistensial mengenai kesulitan dan penderitaan manusia. Sambil menggumuli makna kehidupan lebih mendalam, ia mengikuti secara teratur kegiatan salah satu jemaat Gereja Baptis, kendati belum menjadi anggota.
Pada tahun 1816, ketika membacakan khotbah berdasarkan Yesaya 53 (Hamba Allah yang menderita) di tengah jemaat itu, Miller mengalami pertobatan, lalu sepenuhnya menjadi anggota. Berkat tantangan dari teman-temannya penganut deisme, ia mulai menekankan Alkitab secara intensif, dengan maksud agar ia dapat membenarkan dan menguatkan keputusannya menerima iman kristiani. Berdasarkan penelitian selama 2 tahun, ia berkesimpulan bahwa menurut Alkitab Advent Kedua itu bersifat pra-milenial, bukan post-milenial. Itu akan berlangsung pada masa kehidupan ini, sehingga perlu bertobat sebelum Yesus datang kembali dalam waktu dekat.
Penelitiannya atas Alkitab dan jerih payahnya menafsirkan angka-angka di dalamnya (terutama Daniel 8:14 dan 9:24) yang sedikit banyak cocok dengan ciri rasional dan minat matematis masyarakat pada masa itu, membawanya pada kesimpulan bahwa Kristus akan datang kembali pada tahun 1843 atau selambat-lambatnya 1844. Pada tahun 1818, Miller sudah yakin akan kebenarannya ‘penemuan’nya itu, namun ia masih menguji-cobanya selama 5 tahun. Dan pada tahun 1823, ia benar-benar mantap dengan kebenaran perhitungannya tersebut, lalu ia mulai menyampaikan dengan hati-hati kepada sejumlah kerabat dan keluarganya. Tetapi pada saat itu tidak ada pendeta yang tertarik, hingga akhirnya ia bertekad untuk mengumumkannya sendiri secara terbuka, tetapi kemudian mengurungkannya karena merasa tak layak.
Namun pada Sabtu pagi di tahun 1831, Miller meraa adanya suara desakan dalam batinnya supaya ia memberitakan kepada apa yang sudah ditemukannya itu. Tak lama kemudia ia mendapat undangan dari sekelompok Gereja Baptis untuk mengemukakan nubuatannya pada kitab Daniel itu. Dan hingga tahun 1844 ia diundang kemana-mana untuk berkhotbah tentang Advent Kedua itu. Hal ini membuat ia tidak sampai ditahbiskan menjadi pendeta. Sementara itu ia juga rajin mempublikasikan rangkaian khotbah dan ceramahnya melalui majalah maupun buku. Para pengikut Miller, yang disebut kaum Millerit, datang dari berbagai jenis gereja, jadi bersifat inter-konfesional; namun yang terbanyak adalah dari kalangan Metodis, diantaranya juga para pendeta.
Pada mulanya Miller sudah ragu dalam menentukan tanggal yang tepat dari Advent Kedua itu. Tetapi setelah tahun 1843 berlalu tanpa peristiwa yang berarti, maka pada tanggal 4 Februari 1844 Miller menulis artikel pada majalah Signs of Times (Tanda-tanda Zaman) bahwa itu akan berlangung antara tanggal 21 Maret 1843 dan 21 Maret 1844. Waktu yang tersisa tinggal 2 bulan lagi sehingga para pengikutnya heboh meninggalkan pekerjaannya, menjual harta benda atau membagikan kepada orang miskin dan menungguh di kemah-kemah dengan hati yang berdebar. Namun 21 Maret tiba dan berlalu tidak terjadi apa-apa. Banyak yang kecewa dan mengundurkan diri. Para penentang Miller pun mulai gencar melontarkan cemooh dan kutukan. Miller sendiri kecewa dan terpukul. Ia mengaku bersalah, namun ia masih tetap bersikukuh bahwa hari Tuhan sudah sangat dekat, bahkan di ambang pintu.
Sementara itu pengikut Miller mencoba mengutak-atik Alkitab untuk mendapatkan petunjuk baru. Lalu salah seorang dari mereka, Samuel S. Snow, berdasarkan Habakuk 2:3 dan Imamat 25:9 berkata bahwa mestinya ada ‘perlambatan waktu’ selama tujuh bulan sebelum bumi ini disucikan. Pada pertemuan mereka bulan Agutus 1844, diumumkanlah tanggal baru: 22 Oktober 1844. Semula Miller enggan namun ia ‘menyerah’ dan ikut mewartakannya. Para pengikutnya yang masih setia kembali buru-buru melakukan persiapan seperti sebelumnya. Bahkan ada yang sampai menyiapkan ‘jubah kenaikan [ke sorga]’, yang dicela Miller sebagai ‘keliru dan memalukan’. Dan pada 22 Oktober itu ribuan orang berkumpul di Rochester, New York sambil memandang ke langit menanti kedatangan Kristus. Namun tetap juga tidak terjadi apa-apa, membuat banyak orang merasa binggung, terpukul dan terhina. Miller kembali mengaku bahwa pengharapan kaum Adventis akan kedatangan Kristus itu terbukti premature. Tanggal 22 Oktober itu jadinya disebut hari ‘Kekecewaan Agung’.

Hiram Edson
Setelah kekecewaan yang dialami kaum Adventis oleh karena nubuatan Miller, membuat pengikutnya meninggalkan persekutuan mereka dan kembali ke gerja masing-masing hingga sempat ada kevakuman. Dan ternyata tidak semua dari mereka yang meninggalkan keyakinan akan Advent Kedua itu. Salah seorang pemimpin yang tampil mengatasi kevakuman itu sekaligus memberikan penjelasan baru adalah Hiram Edson (1806-1882). Dengan mengacu pada Wahyu 11:19 ia berkesimpulan bahwa pada tanggal 22 Oktober 1844 itu Kristus memang sudah mulai bertindak. Tetapi bukan kembali turun ke dunia, melainkan untuk memasuki pertama kalinya ruangan kedua dari Bait Suci Allah di sorga. Namun tidak pasti berapa lama.
Dalam ajaran Gereja Advent Hari Ketujuh yang disusun kemudian, pada hari itu Kristus memulai ‘penghakiman penyelidikan’. Sang Juruselamat mulai menetapkan siapa yang layak menghampiri hadirat Allah, dan Ia akan melangsungkan pelayanan ini sampai tiba waktunya ia daang kembali secara pribadi ke bumi. Jadi di satu pihak kaum Adventis mengakui bahwa perhitungan Miller banyak yang tepat, tetapi ia keliru menafsirkan ‘Bait Suci Allah’ itu sebagai bumi ini, sehingga keliru juga menafsirkan tanggal yang tepat dari Advent Kedua.
Dan yang menjadi persolan sekarang: siapakah yang layak diselidiki dan dipertimbangkan Kristus untuk beroleh keselamatan dan memasuki kota sorgawi. Ada pendapat yang mengatakan hanya merekalah yang sebelum 22 Oktober 1844 sudah percaya akan kesegeraan kedatangan Kristus itu. Pendapat ini disebut ‘gagasan pintu tertutup’. Tetapi sejak 1852, Ellen G. White- berdasarkan penglihatan yang ia peroleh- menyatakan bahwa pintu masih terbuka bagi mereka yang percaya setelah itu, karena ternyata masih ada banyak orang yang menerima pandangan kaum Adventis tentang Advent Kedua serta merindukan keselamatan. Pembatalan ‘gagasan pintu tertutup’ itu kira-kira bersamaan dengan penghentian upaya untuk menghitung-hitung tanggal Advent Kedua Kristus di dunia ini.

Joseph Bates
Sementara penafsiran Hiram Edson ata ‘pembersihan Bait Suci Allah’ menjadi semakin popular, tumbuh pula satu kelompok dan keyakinan baru lagi, The Sabbatarian Adventis, yang terutama dipelopori oleh seorang mantan nakhoda, Joseph Bates (1792-1872) dari New Bedford, Massachusetts. Sependapat dengan Edson, ia menekankan bahwa hari perhentian dan peribadahan adalah hari Sabbat (Sabtu) sesuai dengan titah keempat dalam Dasa Titah. Bersamaan dengan itu ditekankannya pula pentingnya menjaga kesucian hidup lewat penerapan berbagai larangan dan pantangan: bersumpah, mencuci pada hari Sabat, merokok atau bersugi, minum alcohol, the dan kopi, dan juga makan daging dari binatang haram yang menurut PL termasuk najis (babi, udang, kepiting dan sebagainya); apalagi yang mengandung darah. Kelak pemahaman ini juga ditampung dalam ajaran dan praktik Gereja Advent Hari Ketujuh, dengan memperkuat alasannya: umat Kristiani harus menjaga kesucian tubuhnya sebagai Bait Allah atau Bait Roh Kudus.

Konfrensi Kaum ‘Adventis Moderat’
Miller dan kawan-kawan masih optimis akan masa depan penganut harapan Advent Kedua itu, memprakarsai konfrensi untuk menyatukan pendapat. Konfrensi itu jadi berlangsung tanggal 29 April 1845, namun hanya dihadiri sebagaian kaum Adventis, yang mengaku sebagai kaum Adventis Moderat. Yang dianggap ekstrem antara lain kelompok Edson, Bates, dan Ellen G. White, tidak diundang. Jadi konfrensi ini mengarah pada pembentukan sekte baru yang sebenarnya tidak dimaksudkan oleh Miller pada mulanya. Konfrensi ini sempat memperlihatkan 4 perkembangan penting: (1) kaum Advent moderat disatukan dan diperkuat; (2) kelompok yang dinilai ekstrem diimbau untuk meinggalkan pendapat-pendapat dan praktik-praktik mereka, dan kembali pada Adventisme yang asli; (3) kaum Adventis moderat mengarah pada kecenderungan elitis, sebab pendukungannya pada umumnya adalah orang-orang berpendidikan; (4) pemisahan di kalangan kaum Adventis jadinya dipertegas.
Ternyata mereka yang menamakan diri kaum ‘Adventis moderat’, tidak bisa bertahan lama; segera mereka terpecah-pecah dan tidk lama kemudian hilang satu persatu atau kembali ke gereja semula, dimana sebagaian masih tetap memelihara kepercayaan akan Advent Kedua itu. Sedangkan kelompok-kelompok yang dinilai ekstrem tadi malah lambat laun bersatu, dan ajaran-ajaran mereka digabung menjadi dasar bagi Gereja Adventis Hari Ketujuh.

Ellen Gould Harmon White
Tokoh yang kemudian dipandang paling besar dalam aliran Adventis adalah Nyonya Ellen Gould Harmon White (1827-1915). Ellen lahir di daerah pertanian dekat kota Gorham, Maine, namun dibesarkan di Portland. Orang tua Ellen adalah warga gereja Metodis, namun ia sendiri tidak bergabung dengan gereja itu sampai ia mendengar Miller berkhotbah di Portland dan menerima pandangannya tentang Advent Kedua. Pada waktu itu ia pun mengaku bertobat. Ketika ia dibaptis tanggal 26 Juni 1842, ia minta agar baptisan itu dilayankan dengan cara diselamkan. Ternyata jemaat Metodis itu memenuhi permintaannya dan sejak saat itu ia menjadi anggota penuh gereja itu. Tetapi ia cuma beberapa bulan menjadi warga Metodis. Ketika Miller kembali berkhotbah di kota itu, Ellen bserta orang tuanya dan sanak saudara mereka menyatakan diri menganut sepenuhnya ajaran dan ramalan Miller, yang membuat mereka dikeluarkan dari gereja Metodis setempat.
Menjelang 22 Oktober 1844, Ellen dengan sungguh-sungguh menyambut kembali kedatangan Kristus. Selama beberapa minggu ia berdoa dengan tekun dan menguji pikiran dan perasaannya secara mendalam. Ketika hari yang dinantikan itu berlalu dengan tanpa mujizat kedatangan Kristus, Ellen sangat terpukul dan kecewa. Namun ia tetap yakin bahwa tanda-tanda zaman telah mengisyaratkan bahwa ‘akhir segala sesuatu telah sangat dekat”, sehingga ia tetap bersikukuh melanjutkan persiapannya menyongsong hari kedatangan Kristus. Pada Desember 1844 Ellen bersekutu dalam doa dengan 4 wanita lainnya. Pada saat berdoa ia mengaku menerima penglihatan yang pertama. Ia berkata bahwa kuasa Allah berkuasa atas dirinya. Tak lama setelah penglihatan pertama itu Ellen mengaku menerima sejumlah penglihatan lain. Demikian pada tahun-tahun selanjutnya ia menyatakan diri sebagai alat di tangan Allah, menyingkapkan terang dan pengetahuan bagi manusia. Dan dalam kenyataannya, setiap penetapan ajaran gerakan atau gerekan Adventis harus lebih dahulu didahului dan disahkan oleh penglihatan yang diterima Ellen.
Ellen mengadakan perjalanan serangkaian perjalanan membawa ‘terang dan damai Kristus’ kepada orang lain. Dalam perjalanannya itu ia bertemu dengan James White (1821-1881), seorang pengkhotbah Adventis, lalu menikah pada 30 Agustus 1846 dan selanjutnya bersama-sama mewartakan ajaran yang khas itu kepada umat manusia. Mereka juga bekerja sama dengan Joseph Bates karena mereka juga yakin akan pandangan Bates tentang Sabat dan penyucian. Ellen mengaku bahwa sebelumnya ia telah menerima penglihatan yang membenarkan bahwa hari Sabat adalah hari Sabtu. Kerjasama mereka memperkuat gerakan Adventis Sabat. Tak lama kemudian Ellen berkenalan dengan pandangan Hiram Edson tentang apa yang terjadi tanggal 22 Oktober 1844 itu. Dan ia juga mengaku lagi mendapat penglihatan kenabian, Ellen membenarkan pandangan Edson itu. Di pihak lain, Edson, Bates dan lainnya menyimpulkan bahwa Ellen G. White memiliki karunia nubuatan, bagaikan para nabi PL. Demikian berbagai unsure semapalan dari gerakan Millerit yang sempat berjalan sendiri-sendiri, terutama yang dinilai ekstrem, bergabung dengan cukup cepat dan mulus sehingga gerakan ini mencapai kemajuan besar.


Perkembangan dan Perluasan Gereja Adventis
Gerakan Adventis ini semula terwujud dalam persekutuan yang informal, dan namanya pun belum ada yang pasti. Namun sejak 1855 mereka sudah menetapkan sementara kantor pusat mereka di Battle Creek, Michigan dan Ellen semakin memegang kepemimpinan termasuk dalam perumusan ajaran. Hampir setiap aspek kepercayaan dan aktivitas persekutuan ini didorong dan diilhami oleh penglihatan ataupun fatwa Ellen. Pada tanggal 1 Oktober 1860 nama Seventh-Day Adventist diresmikan dan pada tahun 1863 hingga kini, kantor pusatnya berlokasi di Takoma park, Washington DC.

Sistem Organisasi Serta Pembinaan Pelayan dan Warga
Pemerintahan atau kepengurusan gereja Adventis mengenal sistem perwakilan. Masing-masing jemaat mengurus dirinya sendiri melalui para pejabatnya, yang mencakupi rohaniwan dan warga gereja. Para pelayan local: penatua, diakon/es dan pemimpin lainnya dipilih oleh jemaat. Pejabat-pejabat di wilayah geografis tertentu dipilih sebagai perwakilan di konfrensi dan badan perwakilan ini mempunyai tanggung jawab mengurusi gereja dan karya penginjilan di wilayahnya. Sedangkan pekerjaan yang mencakup wilayah yang lebih luas ditangan oleh badan yang lebih tinggi berskala nasional, yaitu sidang raya yang berlangsung sekali empat tahun, dimana dipilih Pengurus Am Uni. Pengurus Am Uni ini kemudian mengutus wakil-wakilnya ke sidang yang lebih tinggi, yaitu sidang divisi pada tingkat regional atau benua dan General Conference di Washington, yang merupakan badan tertinggi gereja ini.
Setiap unit pelayanan, kecuali di jemaat local, memilih pejabat penuh waktu untuk berbagai tugas gerejawi. Para pendetanya adalah tamatan seminari atau college Adventis dan ditahbiskan setelah 2 tahun atau lebih masa persiapan dan kemudian berwenang melayankan Baptisan, Perjamuan Kudus dan pemberkatan nikah.

Beberapa Pokok Ajarannya
Di bawah pengaruh dan kepemimpinan Ny. Ellen G. White pada tahun 1872, gereja ini untuk pertama kalinya merumuskan Statement of Faith (Pernyataan Iman), terdiri dari 25 pasal. Pada tahun 1932 dokumen ini diperbaharui sekaligus dipadatkan menjadi 22 pasal. Pada tahun 1980 diperbaharui lagi sekaligus ditambah menjadi 27 pasal, dan masing-masing sarat dengan acuan nas Alkitab. Pernyataan iman versi 1980, yang penulis anggap paing mencerminkan cirri khas ajaran gereja ini.

Adventis di Mata Gereja-gereja Lain dan Kontroversi di Dalamnya
Gereja Adventis sudah menjalin hubungan akrab dengan gereja lainnya, baik dengan gereja-gereja Protestan dari kalangan Ekumenikal maupun Evangelikal. Namun masih cukup banyak yang melihat gereja ini sebagai salah satu sekte yang ajarannya, diukur dengan Alkitab dan ortodoksi reformatories, mengandung banyak penyimpangan, tanpa menyangkali banyaknya hal yang baik dan terpuji yang telah dikerjakan gereja ini.
Antony A. Hoekema diacu Gruss sebagai salah seorang peneliti yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa gereja ini lebih tepat lagi dikatakan sebagai cult ketimbang sebagai gereja, dengan alasan: “Gereja ini telah menambahkan kepada ajaran alkitabiah sejumlah ajaran yang tidak alkitabiah”.
Sejak 1950-an ada tren baru dalam gereja ini, yang pada akhirnya menimbulkan kontroversi. Sebagian dari antara pemimpin dan teolognya berupaya melakukan pembaruan dan koreksi ajaran, dengan mengikuti garis teologi Injili ataupun teologi modern, yakni menggunakan pendekatan ilmiah dalam studi Alkitab mapun dogma. Salah satu contoh yang mencerminkan trend baru dan kontroversi itu ialah terbitnya buku Seventh-Day Adventists Answer Questions on Doctrine (QOD). Buku ini ditulis oleh sekelompok ‘Adventis Injili’. Yang menjadi soal adalah cara menafsirkan dan menjelaskan setiap pokok, yang rupanya sudah meninggalkan ‘pakem-pakem’ yang baku. Di mata kalangan ‘Adventis tradisional’ buku ini telah menjual murah Adventisme, bahkan telah merampok Adventisme dari kekhususannya, atau sekurang-kurangnya tidak mencerminkan keyakina dan identitas Adventis Hari Ketujuh dengan cukup akurat. Sedangkan di mata pengamat tertentu di luar SDA, buku QOD ini telah membawa gereja itu pada krisis, terutama pada tahun 1980-an. Namun disisi lain para pengamat semakin disadarkan bahwa Adventis Hari Ketujuh bukanlah gereja atau aliran yang monolitik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar