Selasa, 10 Maret 2009

RINGKASAN ALIRAN CALVINIS

RINGKASAN ALIRAN CALVINIS

Aliran atau denominasi Calvinis (lebih sering disebut Reformed atau presbyterian) hampir sama tuanya dengan Lutheran. Jumlah anggota gereja penganutnya merupakan yang kedua terbesar setelah Lutheran., tersebar di lima benua. Sebagian besar daripadanya, yaitu 173 organisasi gerja hingga tahun 1990, bergabung di dalam World Alliance of Reformed Churches (WARC). Sejak 1970, gereja-gereja Kongregasional juga bergabung di dalamnya, yaitu sejak WARC bergabung dengan International Congregtional Council (ICC).
Di Indonesia tidak ada gereja yang memakai nama Calvin[is], namun di antara 72 gereja anggota PGI(sampai 1994) yang lazim dimasukkan ke dalam kategori ‘arus utama’ sekurang-kurangnya separuhnya mengaku sebagai Gereja beraliran Calvinis. Contohnya: GPM, GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI (Jabar, Jateng, Jatim, yang sejak Agustus 1994 menyatakan bersatu), GKP, GKJ, GKJW GKPB, GKS, GMIST, Gereja Toraja, GKSS, Gepsultra, GMIH dan GKE. Bahkan gereja-gereja yang beraliran Injili banyak yang mengaku Calvinis, misalnya GRII (Gereja Reformed Injili Indinesia) dan GPII (Gereja Presbyterian Injili Indonesia). Ada 26 organisasi gereja di Indonesia- semuanya anggota PGI- menjadi anggota WARC. Gereja-gereja Calvinis memakai istilah Reformed pada nama persekutuannya (WARC: World Alliance of Reformed Churches). Sedangkan istilah Presbyterian dan Congregational, di samping punya makna histories tertentu, lebih mengacu pada sistem organisasi dan pemerintahan gereja yang diberlakukan di lingkungan gereja-gereja Calvinis, di mana peranan dan kekuasaan para presbyter (penatua; tua-tua, yang dipilih dari antara warga jemaat) ataupun congregatio (warga jemaat) sangat besar.

Latar Belakang dan Sejarahnya

Latar Belakang dan Riwayat Hidup Calvin
Berbicara mengenai Calvinisme atau aliran Calvinis, dengan sendirinya berbicara tentang Johannes Calvin (Jean Cauvin), 1509-1564. Tokoh Reformasi yang lahir di Noyon, Perancis Utara, 10 Juli 1509. Semula ia direncanakan keluarganya menjadi imam [GKR]. Tetapi waktu ia mempersiapkan diri di Paris untuk studi teologi, ayahnya berselisih paham dengan keuskupan Noyon, sehingga rencana itu dibatalkan. Lalu ia belajar ilmu hukum di Orleans 1528-1529 dan di Bourges 1529-1531. Latar belakangnya sebagai sarjana hukum ini cukup berperan memberi warna yang kuat dalam pemikiran-pemikiran dan karya-karya Calvin, baik dalam hal penyusunan tata gereja maupun perumusan wawasan teologis (pengetahuan teologinya dipupuk lewat upaya belajar sendiri ditambah dengan belajar bahasa dan kesusasteraan Ibrani, Yunani dan Latin secara formal).
Ketika ia mempelajari bahasa dan kesusasteraan itu, ia sekaligus mempelajari dan menyerap Humanisme Kristen, dengan tokohnya antara lain Eramus. Para Humanis Kristen di Perancis itu juga bersentuhan dan berkenalan dengan semangat ‘Injili’ dan Reformasi yang dicanangkan Luther, sementara pemerintah setempat masih merupakan pendukung GKR. Karena itu, pemerintah mencurigai Calvin sebagai pendukung Reformasi, terutama setelah khotbahnya di Paris 1533, yang sangat tajam mengecam ajaran dan praktek GKR dan ia terpaksa melarikan diri dari Paris pada tahun 1533.
Setelah Calvin memutuskan untuk mengikuti gerakan Reformasi, ia lebih banyak bekerja di Basel dan Jenewa, Swiss. Dan gerakan Reformasi lebih mendapat tempat di sana. Di Basel ia menulis mahakaryanya, Religionis Christianae Institutio; Pengajaran Agama Kristen. Versi pertama buku ini selesai ditulis tahun 1535 dan diterbitkan tahun 1536. Buku ini berisi uraian tentang pokok-pokok iman Kristen, yang sekaligus mencerminkan kekhasan teologi Calvin, yang menjadi buku pegangan pengajaran di lingkungan-lingkungan gereja Calvin, khususnya untuk pengajaran katekisasi (Katekismus Heidelberg, yang disusun oleh dua orang pengikut Calvin dari Jerman- Zacharias Ursinus dan Caspar Olevianus). Calvin memulai karyanya sebagai Reformator di Basel, namun di Jenewa ia lebih banyak berkarya. Ketika Calvin mulai menetap di Jenewa (1535), kota itu baru saja membebaskan diri dari pemerintahan uskup GKR. Kota itu diperintah oleh Dewan Kota dan dengan mereka yang duduk di lembaga inilah Calvin bekerjasama untuk memberlakukan asas-asas Reformasi dalam kehidupan gereja dan masyarakat. Disiplin yang ketat ditegakkan di kota ini. Disiplin yang ketat ini membuat jemaat dan Dewan Kota Jenewa memecat ‘Farel dan Calvin’ (1538) karena tidak tahan mengikuti peraturan bergereja yang disusun Calvin. Hal ini membuat Calvin sementara bermukim dan melayani di Strasburg, kendati tiga tahun kemudian ia dipanggil kembali. Di sana Calvin bekerjasama dengan Martin Bucer, Reformator setempat. Ia belajar banyak tentang tata ibadah dan organisasi gereja, yang kelak dituangkannya dalam berbagai tulisan dan menjadi pedoman-pedoman bagi gereja Calvinis. Dan di kota itu juga ia menikah (1540) dengan Idelette de Bure.
Tahun 1541 Calvin kembali ke Jenewa atas permintaan Dewan Kota setempat, dalam rangka mengatasi upaya seorang kardinal untuk menggiring warga kota itu kembali ke GKR. Calvin segera menyusun tata gereja yang baru, yang diberi nama Ordonnances Ecclesiastiques (Peraturan-peraturan Gerejawi), yang sekaligus merupakan penerapan dari dasar-dasar teoritis yang sudah dirumuskan dalam Institutio.
Pengaruh Calvin tidak hanya terasa di Jenewa, tetapi juga ke seluruh Swiss. Ia bersama para pendukung Reformasi lainnya berupaya menyatukan pendapat umat Protestan di negeri ini mengenai beberapa hal, antara lain mengenai Perjamuan Kudus. Tetapi upaya ini memperkuat perbedaan antara mereka dengan pengikut Luther hingga tak terdamaikan. Pertikaian ini baru diakhiri pada tahun 1957, ketika para teolog kedua belah pihak menghasilkan kesepakatan bersama dengan nama dalil-dalil Arnoldshain.
Calvin semakin terkemuka di dunia Reformasi Internasional dan ia menjalin hubungan dengan para tokoh Reformasi dari berbagai negeri dan berhasil menanamkan pengaruh Calvinismenya. Setelah sepeninggalannya Calvin, banyak berdatangan calon pendeta Prostestan dari negeri-negeri tersebut untuk dididik di sebuah Akademi di Jenewa, yang diprakarsai Calvin dan dipimpin oleh Theodorus Beza.
Calvin meninggal pada 27 Mei 1564. Ia mewariskan suatu wawasan teologi yang khas dan tersaji di dalam Institutio. Di banding Luther, perjalanan hidup dan pergumulan batin Calvin tidak sedramatis Luther, dan kedua tokoh ini memiliki temperamen yang berbeda. Dalam hal yang paling mendasar bagi reformai gereja, diantara keduanya lebih banyak persamaan. Hingga banyak para ahli yang berpendapat bahwa Calvin ‘duduk di bahu’ Luther, yang mengembangkan lebih rinci dan mendalam gagasan-gagasan pokok yang sudah dicanangkan Luther. Calvin menjadikan reformasi yang dicanangkan Luther lebih konkret dan lebih jelas wujudnya dalam kehidupan bergereja. Calvin mengatakan bahwa ia- meskipun tak pernah bertemu muka langsung dengan Luther- sangat menghormati pendahulunya itu. Para pengikut Calvin yang kelak menjadi gereja-gereja Calvinis (Reformed) menyusun sejumlah Pengakuan Iman , antara lain: Konfesi Helvetik (Swiss) I (1536) dan II (1566), Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica, 1561), Kanon Synode Dordrecht (1619) dan Pengakuan Iman Westminster (1647).

Perluasan Gereja-gereja Calvinis
Jemaat-jemaat Protestan pengikut Calvin pertama terbentuk di Swiss dan Perancis. Pada tahun 1559 telah berlangsung sidang sinode pertama Gereja Reformed Perancis yang benar-benar bercorak Calvinis (mereka dikenal dengan nama Kaum Hugenot). Pada tahun-tahun berikutnya mereka mengalami hambatan dari pihak pemerintahan yang Katolik. Puncaknya terjadi pada suatu peristiwa yang dikenal dengan nama malam pesta St. Bartolomeus (23-24 Agustus 1572), di mana sekitar 30.000 orang Protestan terbunuh.
Setelah Edik Nantes yang diterbitkan Raja Henry IV tahun 1598 sempat ada masa toleransi, tetapi tak begitu lama, terutama sejak Raja Louis XIV membatalkan edik itu(1685), kembali lagi terjadi penghambatan sampai diterbitkannya Konstitusi 1795 (sebagai produk Revolusi Perancis 1789) yang menjamin kebebasan beragama.
Perkembangan yang pesat justru terjadi di Belanda. Jemaat-jemaat Protestan Calvinis terbentuk segera setelah Calvin membentuk jemaat di Jenewa. Selanjutnya menyusullah perang agama yang mengakibatkan terbaginya negeri itu menjadi dua (Belanda yang Reformed dan Belgia yang Roma Katolik). Pemisahan ini dituntaskan tahun 1579 oleh Pangeran Willem van Oranje- Nassau yang Calvinis. Tetapi di Belanda juga terjadi pertikaian besar di lingkungan Calvinisme, yang mengakibatkan munculnya kelompok yang dianggap sesat, lalu dikucilkan/memisahkan diri, yaitu pengikut Jacobus Arminius, yang kemudian dikenal dengan nama kaum Arminian.
Di daratan Eropa, selain di Swiss, Perncis dan Belanda, jemaat-jemaat Calvinis (Reformed) juga hadir di Jerman, Italia, Cekoslowakia dan Hongaria. Khusus di Jerman, Calvin menjalin persahabatan dengan Philip Melanchton, lalu Calvinisme masuk ke sana melalui korban pengungsi- korban penghambatan oleh GKR- dari Perancis dan Belanda.
Pusat aliran Reformed di Inggris Raya(antara lain England dan Irlandia) adalah Skotland. Yang pertama mengembangkannya di sana adalah Jhon Knox, pengikut setia Calvin. Di Negara England, pemikiran Reformed-Presbyterian diberi nama Puritanisme. Nama ini muncul hasil dari penyatuan pikiran yang berbeda di kalangan Reformed di sekitar pokok “pemurnian lebih lanjut dari gereja”, yaitu langkah lanjut dari Reformasi, sebagaimana dicetuskan oleh Ratu Elisabeth I tatkala ia menawarkan gagasan via media (jalan tengah) pada 1558, untuk meredakan pertikaian keagamaan. Di lingkungan kaum Puritan sendiri ada dua kelompok besar: kaum Independen dan Presbyterian. Kebanyakan kaum Puritan berpikiran Reformed, tetapi di luar itu meeka bervariasi.
Periode 1558-1649 di Inggris merupakan masa pergumulan, penghambatan perang dan pasang surut toleransi di antara tokoh pelbagai gereja di England. Pada tahun 1649 Oliver Cromwell, seorang Puritan, berani memberontak terhadap kerajaan dan mendirikan Persemakmuran Puritan. Kendati Cromwell berhasil di kalangan Independen, namun kalangan Presbyterian dominant di dalam parlemen, sehingga ketika pemerintahan Cromwell di mulai, Presbyterianisme menjadi gereja atau aliran dominan di England. Tetapi ketika Puritanisme mengambil ahli posisi sebagai gereja negara, kedua fraksi di dalamnya (Independen dan Presbyterian), tidak merasa perlu lagi mempertahankan kesatuan mereka dalam menghadapi Episkopalianisme, lalu pertikaian di antara keduanya semakin tajam. Kaum Kongregasionalis, suatu kelompok di dalam fraksi independent, mulai melancarkan tekanan agar gereja negara yang baru itu didasarkan pada sistim kongregasinal ketimbang presbyterian. Kaum Kongregasional juga ingin tetap dekat dengan Gereja Anglican, dalam arti lain kaum Kongregasional ingin mengkhotbahkan ajaran Gereja Anglican, tetapi di pihak lain ingin memilih pendeta mereka sendiri, memiliki harta benda sendiri dan tidak mau tunduk di bawah kuasa uskup-uskup Gereja Anglican. Kaum Kongregasional ditentang oleh kelompok lain di kalangan Independen, yaitu Separatis. Yang terakhir ini melepaskan diri dari ikatan episkopal mana pun.
Pada tahun 1660 Presbyterianisme kehilangan posisinya sebagai gereja negara, karena kekuasaan kerajaan England dipulihkan (ini disebut Restorasi) dan gereja Anglican kembali menjdi gereja negara. Akhirnya Presbyterianisme menjadi sebuah kelompok kecil di antara sejumlah kelompok kecil lainnya. Jadi Restorasi berarti berakhirnya kekuasaan Presbyterian. Tetapi teologi Reformed tetap dominant di lingkungan Protestan England, termasuk di kalangan Presbyterian, Kongregasional dan Separatis.
Sebanarnya sebelum beberapa tahun Cromwell mengambil-alih kekuasaan, Parlemen England telah meritis jalan bagi pemberlakuan Presbyterianisme dengan menyingkirkan sistim keuskupan pada tahun 1642-43. Parlemen juga mengundang Sidang Raya para rohaniwan di Westminster untuk menata-ulang lagi Gereja Anglican. Sidang Raya ini yang berlangsung secara terputus-putus selama tiga tahun, menghasilkan tiga karya terpenting dalam sejarah aliran Reformed (di samping Institutio dan merupakan penjabaran karya utama Calvin ini), yaitu Katekismus Besar dan Kecil, Pengakuan Iman Westminster dan Tuntunan Ibadah Umum.

Beberapa Pokok Ajaran dan Prakteknya
Inti dan Titik-tolak Teologi Calvinis
Teologi Calvin dibentuk oleh keyakinannya akan kedaulatan Allah dalam perkara penciptaan dan keselamatan, dan kemuliaan Allah sebagai tujuan dari karyaNya maupun dari hidup dan tugas manusia. Pokok-pokok besar lainnya dalam teologi Calvin, misalnya predestinasi atau penebusan yang terbatas, dibangun di atas keyakinan akan kedaulatan dan kemuliaan Allah ini. Sebab itu, teologi Calvin disebut sebagai Teologi Kedaulatan dan Kemuliaan Allah.
Calvin sangat menekankan otoritas Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran Gereja yang benar (sola scriptura) dan ia menolak pemahaman dan penghargaan Gereja Katolik Roma atas tradisi sebagai sumber keyakinan dan ajaran yang setara dengan Alkitab. Berbicara tentang Kemuliaan Allah (Gloria Dei), Calvin menegaskan bahwa Allah menciptakan dunia dan manusia demi untuk kemuliaanNya. Apapun yang dilakukan manusia hendaknya bertujuan untuk kemuliaan Allah.
Calvin menekankan konsep pengudusan, manusia yang telah diamouni dan dibenarkan karena iman harus berusaha sedapat mungkin menjaga dan mengupayakan kekudusan hidupnya, meskipun kekudusan itu tak pernah sempurna dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan. Dengan kata lain pengudusan (sanctificatio) adalah buah dari pembenaran (justificatio).
Calvin sangat menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide). Ia menentang ajaran Gereja Katolik Roma yang menyatakan bahwa keselamatan merupakan hasil kerjasama antara kasih karunia Allah dan perbuatan baik manusia. Calvin kemudian mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan yang dikenal sebagai ajaran predestinasi, kendati pokok ini sebenarnya tidak menduduki tempat yang sentral dalam teologi Calvinis.
Secara sederhana, predestinasi berarti bahwa jumlah dan jatidiri dari ‘orang-orang terpilih’, yakni mereka yang diselamatkan, sudah ditetapkan oleh Allah yang berdaulat itu sebelum dunia diciptakan. Calvin sendiri mendefenisikannya sebagai “ keputusan Allah yang kekal, yang dengannya Ia menetapkan untuk diri-Nya sendiri, apa yang menurut kehendak-Nya akan terjadi atas setiap orang” (Institutio, III, xxi, 5).
Hakikat Gereja
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang kesemuanya disambut dan diterima manusia melalui iman. Gereja merupakan tempat yang dapat ditemukan di mana saja, asalkan di sana firman atau Injil yang murni diberitakan dan sakramen yang murni dilayankan(yakni Baptisan dan Perjamuan Kudus, yang merupakan firman dalam wujud tanda).
Menurut Calvin Gereja mempunyai peranan kunci dalam hubungan antara manusia dengan Allah sebagai sarana atau saluran pemberitaan firman dan pelayanan sakramen. Gereja harus memiliki seperangkat pejabat yang ditunjuk untuk memberitakan firman dan membina orang percaya. Pelayanan firman dan sakramen merupakan pusat kehidupan Gereja.
Tata Gereja dan Jabatan
Calvin menetapkan bahwa di dalam Gereja ada empat jabatan, yaitu gembala atau pendeta (pastor), pengajar (doctor), penatua (presbyter), dan syamas atau diaken (diacon). Tugas pendeta adalah memberitakan firman dan melayankan sakramen, dan bersama dengan penatua mengawasi kehidupan jemaat, dan kalau perlu menegur warga gereja yang menyimpang dari ajaran dan peraturan gereja. Jabatan pengajar mencakup semua fungsionaris gereja yang terlibat dalam tugas pengajaran yang berhubungan dengan iman Kristen, mulai dari guru agama Kristen di sekolah, guru katekisasi, sampai dengan dosen-dosen teologi. Para penatua, pada masa itu di Jenewa adalah orang-orang yang ditunjuk pemerintah kota untuk-bersama pendeta- mengawasi kehidupan gereja. Para diaken atau syamas bertugas untuk mengurusi orang-orang sakit, miskin, berkemalangan, dan lainnya. Sebab itu mereka mengumpulkan dan mengatur perbendaharaan jemaat untuk disalurkan pada jemaat yang membutuhkan.
Hampir seluruh gereja beraliran Calvinis di Indonesia bahkan di dunia saat ini menganut sistem pemerintahan prebiterial-sinodal. Sistem ini menganut jalan tengah atau kombinasi antara sentralistis dan pola otonomi jemaat. Ada perkara- perkara yang harus dipercayakan pada badan atau instansi di atas(atau di luar) jemaat, tetapi cukup besar wewenang dan kebebasan jemaat untuk mengatur dirinya sendiri. Tata gereja ini disebut presbiterial sinodal sebab semua keputusan jemaat diambil pada tingkat presbiterium(majelis jemaat), sedangkan perkara-perkara yang menyangkut seluruh kepentingan seluruh gereja diputuskan pada tingkat sinode, yang dalam hal ini diikuti oleh wakil presbiterium dari setiap jemaat.
Disiplin(Siasat) Gereja
Jemaat Calvin(is) yang pertama, yakni jemaat Jenewa yang langsung dipimpin oleh John Calvin sangat ketat dalam melaksanakan disiplin gereja, yakni penegakan ketertiban dan pengawasan ajaran maupun perilaku, namun pada masa kini, gereja-gereja beraliran Calvinis seringkali sangat longgar dalam masalah penegakan disiplin gereja.
Menurut Calvin tujuan utama disiplin gereja adalah mempertahankan kesucian gereka sebagai persekutuan yang merayakan Perjamuan Kudus, supaya nama Allah tetap dimuliakan dan tidak dicemarkan. Disiplin juga berguna untuk menjaga agar orang-orang baik di dalam gereja tidak tercemar kejahatan karena pergaulan dengan orang jahat, dan orang-orang jahat menjadi bertobat dari kejahatannya.
Penegakan disiplin gereja dilaksanakan majelis jemaat sebagai satu kesatuan dan bukan pada satu orang saja. Calvin menetapkan tiga kategori hukuman gereja, pertama teguran oleh majelis jemaat, kedua larangan mengikuti Perjamuan Kudus, ketiga pengucilan dari jemaat, yang dilakukan atau diumumkan pada kebaktian umum kepada seluruh jemaat.
Ibadah dan Tata Ibadah
Bagi Calvin, ibadah dan tata ibadah berkaitan erat, bahan merupakan satu kesatuan, sebab gereja mengungkapkan imannya melalui ibadah atau dengan kata lain apa yang diyakini gereja terungkap secara nyata di dalam ibadahnya. Ibadah dalam gereja-gereja Calvinis-maupun Lutheran- berpusat pada pemberitaan Firman atau khotbah dan perayaan Perjamuan Kudus.
Mengenai Khotbah, menurut Calvin idealnya khotbah merupakan kombinasi dari uraian isi Alkitab dan penjelasan pokok-pokok pemahaman iman atau ajaran gereja tentang kebenaran yang dianut gereja. Mengenai Nyanyian, selama berabad-abad nyanyian gereja hanya terbatas pada Mazmur, karena menurut Calvin, Mazmur merupakan nyanyian yang paling layak untuk memuji Allah, sebab terdapat dalam Alkitab dan dengan demikian merupakan ciptaan Roh Kudus. Sekarang ini sudah banyak digubah lagu-lagu rohani yang dipergunakan dalam ibadah gereja-gereja beraliran Calvinis.
Mengenai Baptisan, yang dilayankan dalam ibadah jemaat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh gereja. Calvin membela dan memberlakukan baptisan anak atau bayi. Sebab, baptisan merupakan tanda pengampunan dan hidup baru. Baptisan juga menandakan bahwa kita telah ikut serta dalam kematian dan kebangkitan Kristus dan kita juga telah menjadi satu dengan Dia. Baptisan sekaligus menjadi tanda bahwa kita telah masuk ke dalam persekutuan gereja. Baptisan bukanlah syarat memperoleh keselamatan, namun meterai yang menandakan bahwa seseorang telah memperoleh pengampunan dosa dan keselamatan pada salib Kristus. Pengampunan tersebut telah dikaruniakan Allah sebelum kita dilahirkan, sehingga tidak ditentukan oleh Baptisan.
Mengenai Perjamuan Kudus, Calvin meyakini dan mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah tanda yang ditetapkan Allah melalui Anak-Nya Yesus Kristus, supaya melalui roti dan anggur itu orang-orang beriman dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Perjamuan Kudus menurut Calvin lebih dari sekedar mengingat akan kematian Tuhan Yesus, namun Perjamuan Kudus menambahkan sesuatu kepada iman orang percaya dan kepada apa yang disampaikan dalam pemberitaan Firman. Ketika Perjamuan Kudus dilayankan, tubuh Kristus tetap berada di Sorga tetapi Roh-Nya memenuhi roti dan anggur sehingga para peserta Perjamuan Kudus yang beriman menerima Kristus secara rohani.



Gereja dan Dunia serta Hubungan Gereja dengan Negara
Calvin menghendaki ada garis pemisahan yang tegas antara gereja dengan Negara. Meskipun sumber kekuasaannya sama, yaitu dari Tuhan Allah, namun Allah merupakan penguasa tertinggi baik dalam kehidupan negara maupun gereja. Selanjutnya Tuhan Allah memberikan ‘pedang jasmani’ kepada Negara atau pemerintah sipil sedangkan pedang yang satu lagi, ‘pedang rohani’ diberikan kepada gereja. Negara harus membantu gereja untuk memberlakukan kedaulatan Allah dan ketertiban di dalam kehidupan manusia, tetapi negara tidak boleh mencampuri urusan gereja, termasuk dalam hal organisasi, peribadahan, upacara-upacara dan penetapan pejabat gerejawi.
Ini bisa berarti bahwa gereja memiliki lebih banyak wewenang dibandingkan dengan negara karena gereja bisa berbicara dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik dan pemerintahan, sementara sebaliknya negara tidak boleh berbicara dalam urusan keagamaan. Namun, dalam kenyataannya, gereja-gereja Calvinis lebih sering diatur negara, ketimbang sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar