SEKOLAH TEOLOGIA YANG MENJAMUR
Jamur adalah jenis mahkluk hidup yang memiliki tingkat perkembangbiakan amat cepat. Asalkan situasi dan kondisi memberikan kesempatan, maka jamur tak akan menyia-nyiakannya, ia akan segera menyerbu tempat itu tanpa ampun. Di setiap sudut-sudut kehidupan dunia ini tiada tempat yang lepas dari perkembangbiakan jamur, dari kawasan mewah hingga kawasan kumuh, sehingga manusia seringkali sulit untuk mengendalikan perkembangannya. Istilah”tumbuh bagai jamur di musim hujan”pun di tujukan pada sebuah situasi dimana ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara tak terkendali. Mengapa saya menggunakan jamur sebagai media pembuka wacana? Ya karena memang saya akan berbicara tentang sesuatu yang sedang tumbuh dan berkembang secara ‘tak terkendali’ di Indonesia, yaitu menjamurnya sekolah-sekolah teologia.
Fenomena menjamurnya sekolah-sekolah teologia memang sudah dirasakan sejak beberapa tahun belakangan ini. Disana sini terdapat berbagai sekolah teologia dengan corak, ragam, dan kekhasan teologia masing-masing, ada yang menyebut diri Pentakosta, Karismatik, Injili, baptis, Wesleyan, Calvinis, Lutheran, dan lainnya. Hal itu bukanlah masalah. Permasalahannya adalah seberapa tinggi standar kualitas yang dimiliki sekolah teologia tersebut? Mulai dari fasilitasnya, pengajarnya, metode pengajarannya, hingga kompetensi lulusannya. Hal ini penting sebab sekolah teologia dikenal sebagai pencetak laskar Kristus, hamba Tuhan, pekabar Injil, maupun intelektual Kristiani. Jadi, sudah barang tentu sekolah teologia harus mampu memberikan pengajaran baik teori maupun praktek secara berkualitas, komprehensip, holistik, dan ilmiah, sehingga lulusan benar-benar memiliki komptensi seorang teolog yang cakap.
Tengoklah kenyataan di lapangan, apakah sekolah-sekolah teologi tersebut telah memenuhi kriteria sebagai lembaga pendidikan pencetak hamba TUHAN dan intelektual Kristiani yang berkualitas? Sebagian Belum!(saya tidak akan lupa akan beberapa sekolah teologia yang memiliki kualitas pengajaran handal, dengan pengajar yang cakap sehingga menghasilkan sarjana-sarjana yang unggul. Mis, STT Jakarta, STII, F. Teologia UKDW,ITKI, UKSW, STT HKBP, STBI, III, dan beberapa lainnya) Ada pula sekolah yang tidak terdaftar secara resmi di DEPAG maupun DEPDIKNAS berani membuka program sarjana bahkan magister. Jelas ini adalah suatu penipuan dan pembodohan publik, kenapa?ya karena mereka menggadaikan gelar kesarjanaan yang seharusnya di raih dengan peluh dan air mata. Ada pula yang menyelenggarakan program doktor hanya dalam waktu enam bulan, tanpa kuliah, tanpa disertasi. Peserta hanya perlu menyerahkan riwayat pelayanan dan sejumlah uang, maka gelar doktor pun sudah di tangan. Bahkan gelar kehormatan tertinggi, professor pun tak luput dari praktek-praktek semacam ini. Sekolah lainnya menyelenggarakan pendidikan hanya dengan ruang kuliah seadanya, kurikulum seadanya, dosen seadanya, fasilitas pendukung seadanya, dan akhirnya lulusannya pun memiliki kualitas seadanya. Sekolah teologia semacam itu tak lebih dari ‘jamur ’ yang mesti dicabut. Sekolah teologi macam ini pantas disebut sebagai sekolah teologia gelap, karena memang kualitas dan keberadaannya remang-remang cenderung gelap.
Sekolah-sekolah teologia Kristen ‘gelap’ semestinya harus ‘bangun’ dan ‘membasuh muka’ untuk melahirkan kembali budaya dan perasaan malu karena telah merendahkan nilai-nilai pendidikan yang luhur. Penginjilan dan penjangkauan jiwa, atau ‘waktu TUHAN yang semakin dekat tidak dapat dijadikan kedok untuk membangun lembaga pendidikan instant yang tak teruji keunggulannya. Kalau memang tidak mampu menyelenggarakan pendidikan di bidang teologia secara layak dan memenuhi standar lebih baik mulai sekarang berpikir untuk meninjau kembali keberadaan sekolah tersebut. Apabila sekolah teologia masih tumbuh bak jamur di musim hujan, maka saya yakin sebentar lagi musim kemarau akan tiba dan jamur yang tidak berguna akan layu, ditinggalkan dan akhirnya mati. Bagi pengguna gelar akademik teologia ‘aspal’ semacam ini, saya menghimbau agar saudara dengan rela hati menanggalkannya demi penghormatan pada keluhuran pendidikan teologia serta wujud nyata dari karakter Kristen yang bertanggung jawab dan jujur.
Sebagai pembimbing dari umat Kristiani, Departemen Agama terkhusus Bimbingan Masyarakat Kristen harus memperhatikan fenomena tersebut. Diperlukan ketegasan untuk menertibkan keberadaan sekolah teologia. Diharapkan BIMKRIS mampu membuat regulasi yang jelas bagi seluruh sekolah teologia yang dibimbingnya, sehingga kelak tidak akan didapati lagi sekolah-sekolah teologia yang kualitasnya dibawah standar. Kalau sekolah teologia kualitasnya tak memenuhi syarat ya sebaiknya ditutup saja. Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar